Senin, 23 Desember 2013

5 Film Terbaik di Tahun 2013

Based on what? Well, based on me, dari puluhan film yang sudah dan belum sempat saya saksikan di tahun ini. Saya memilih lima film ini berdasarkan apa yang mereka tinggalkan begitu saya selesai menontonnya. Betapa kuat dan thoughtful karakter-karakter yang ada di ke-lima film ini, betapa membuminya mereka --kecuali karakter Jep Gambardella di The Great Beauty--, dan tentu saja, mereka merupakan karakter yang filosofis dan penuh makna. Mengingatkan kita akan "hidup". So, ini bukan hanya kemampuan ke-lima director ini membuat cerita yang "besar", namun juga bagaimana mereka membuat karakter yang sama "besar"nya. Ke-lima film ini memberikan tokoh utamanya kebebasan untuk makin menghidupkan cerita yang dibuat oleh sang director.

#5 Gravity (USA)

Film dengan pencapaian visual effect yang sangat luar biasa dalam sejarah perfilman & berhasil menjangkau imajinasi kita akan luar angkasa. Rasanya seperti, 3D jatuh di film yang tepat semenjak Avatar, and i hate to admit that i love it. Namun, dibalik kemegahan visualnya, kita tidak bisa mengindahkan bahwa Alfonso Cuaron berhasil menciptakan karakter, satu karakter, yang juga sama kuat-nya. Dr. Ryan Stone, yang diperankan Sandra Bullock, adalah karakter dengan keberanian klasik. Manusia biasa, yang menjadi pahlawan untuk dirinya sendiri, jenis orang yang mungkin ada di antara teman-teman kita, keluarga kita; sesekali losing faith, tak berdaya, namun karena didorong oleh rasa cinta, ia kembali bangkit untuk berusaha meraih kepercayaan diri dan her inner-strength, siklus yang tak hanya memainkan emosi kita sebagai penonton, namun juga membuat kita related to her.

Seseorang terdampar di sebuah pulau tak bertuan, mungkin bisa dibayangkan oleh semua orang, namun terdampar seorang diri di luar angkasa, tentu ini gambaran yang sangat mengerikan, dan bahkan tak pernah kita harapkan sebelumnya. Namun itulah yang terjadi pada Dr. Stone, she's all alone and totally hopeless. Bullock is a milestone. Setelah sekian banyak film-film dengan tokoh one-man-show yang selalu saja dibawakan oleh aktor-aktor pria, sebut saja Cast-Away untuk Tom Hanks, Buried untuk Ryan Reynolds atau yang terbaru, All is Lost untuk Robert Redford, akhirnya aktor wanita mendapat kesempatan yang sama. Bullock berhasil menyajikan akting yang begitu breath-taking, usahanya bertahan hidup berhasil menyentuh banyak penonton, namun mimpi buruk yang ia alami di luar sana, juga menjadi mimpi buruk bagi kita. Outter-space is not the same anymore.

#4 Child's Pose (Romania)


Lewat film ini, Calin Peter Netzer berusaha meraih apa yang Asgar Farhadi raih di film A Separation. Kita dibawa dalam sebuah konflik yang seolah-olah berputar di tempat namun sebenarnya berjalan maju. Mengisahkan usaha seorang ibu dalam membebaskan putranya dari ancaman penjara akibat menabrak tewas seorang bocah. Namun usahanya kemudian tak berjalan mulus, kita diperlihatkan bahwa sang putra sebenarnya tak pernah menyukai ibunya, jadi tak peduli seberapa keras perjuangan yang ditempuh sang ibu untuk membebaskannya, sang putra seolah-olah tak peduli. It's like he leaves his problem to his mother and taking her effort for granted. Perilaku yang membuat kita gusar dan muak menyaksikannya. Namun jika dilihat lebih dalam, sang putra sebenarnya merindukan kebebasan. Ia tahu ia sudah dewasa, dan merasa tak berdaya dan frustated akibat dari ketidakmampuan menangani masalahnya sendiri karena sang ibu terlalu turut campur. Konflik dalam hubungan anak-ibu ini sebenarnya berhasil menyentuh konflik yang sama yang juga kerap terjadi di banyak keluarga. Selain itu, konflik dalam cerita ini juga menyinggungg tentang perbedaan kelas sosial dalam masyarakat beserta gaya hidupnya.

Well, thanks to Luminița Gheorghiu yang menghadirkan akting yang begitu memukau, yang sulit membuat kita berpaling dari segala usaha-usaha --yang terkadang mendebarkan-- yang ia tempuh. Seorang ibu paruh baya yang tak pernah habis kesabarannya, yang merindukan cinta kasih anaknya. Yang terkadang membuat kita menebak-nebak makna paling terdalam dari ekspresinya, apakah yang ia lakukan tulus atau demi kepentingannya sendiri? Like a magic, film yang disajikan seperti dokumentar ini akan membuat kita tertegun di awal, lalu tergerak akan kekuatan endingnya.

#3 Frances Ha (USA)


Frances, perempuan dewasa yang belum menemukan secara tepat posisinya dalam masyarakat. Ia sepertinya belum menemukan siapa dia yang sebenarnya dan apa yang benar-benar cocok baginya. So, di film ini kita akan melihat sosok Frances berpetualang dalam hidupnya, dengan dibumbui konflik sulitnya ia melepaskan sahabat terdekatnya yang akan menikah. Frances karakter yang kompleks, kita mungkin berpikir dia lucu bahkan konyol, namun jauh di dalam sana, Frances is a lonely girl and she hides it. Belum lagi fakta bahwa ia undateable. Namun justru karena kesepiannya ini, Frances juga menjadi karakter yang lebih jernih dari siapa pun, dia bisa melihat lebih dalam, menilai lebih, orang-orang dan lingkungan di sekitarnya.

Dalam karir perfilmannya, inilah the finest achievement of Noah Baumbach. Ia menciptakan film yang terasa begitu ambigu dan filosofis. Frances Ha adalah film black-comedy, dimana --seolah-olah-- format hitam putih yang digunakan Baumbach bukan sekedar alasan estetis semata, namun sebagai perwakilan the real feeling dan keterpurukan Frances. & syukurlah Frances bukan diperankan siapa-siapa, bukan oleh aktris papan atas Hollywood, melainkan Greta Gerwig, penulis ceritanya sendiri. Kita tahu Gerwig dalam karir keartisannya tak pernah beruntung mendapat peran yang memorable. Dan dengan Gerwig yang memainkan Frances, ini membuat Frances sebagai karakter yang kokoh, yang tidak terikat oleh ketenaran aktris yang memainkannya. 

#2 The Great Beauty (Italy) 


Dari semua fim yang saya saksikan tahun ini, inilah film yang paling ambisius. Mulai dari penciptaan karakter hingga visualisasinya. Mengisahkan tentang seorang pria, Jep Gambardella, yang namanya tetap terkenal karena satu-satunya novel yang ia publish bertahun-tahun lalu begitu dipuji oleh banyak kritikus. Di hari tuanya yang sekarang, sembari senantiasa dikejar satu pertanyaan "kapan ia akan menulis novel baru?", Gambardella mencari keindahan hidup yang sebenarnya.

Paolo Sorrentino melalui The Great Beauty berhasil meng-evokasi kenangan kita akan karya-karya sineas unggulan Italy masa lampau, Federico Fellini. Film bernuansa surealis yang membawa kita mengelilingi begitu banyak sudut-sudut kota di Italy yang megah yang mewakili visualisasi Gambardella ini seperti menggabungkan La Dolce Vita dan . Kedalaman dan kerumitan karakternya mencerminkan karakter dalam 8½, sedang lingkungan sosial dimana Gambardella hidup hampir mencerminkan kehidupan dalam La Dolce Vita. Gambardella has two different world; kehidupan dengan keindahan yang terbatas, kehidupan malam yang gemerlap, berpesta dan berkumpul dengan teman-teman seprofesinya. Lalu di dunia yang satunya lagi, kehidupan yang Gambardella kini betul-betul ingin ia tuju, kehidupan dengan keindahan yang tak terbatas, kehidupan yang sedang ia eksplorasi, beriringan dengan kenangan-kenangan masa kecilnya yang mulai muncul kembali di ingatannya. Dua dunia ini, juga dimanifestasikan dalam dua scenery yang berbeda dan kontras; Ada kehidupan malam, pesta, dan orang-orang yang ditampilkan dalam berbagai gaya dan fancy costume. Sedang untuk kehidupan yang satunya lagi, Gambardella membawa kita ke tempat-tempat yang terasa sakral, seolah-olah dewa-dewi pernah tinggal disana, dan tempat-tempat yang mendamaikan di Italy.

Sorrentino menciptakan sebuah karakter yang begitu emosional dalam cara yang begitu anggun, artsy dan poetic. Dan satu-satunya yang mampu mengimbangi keindahan karakter yang ia ciptakan itu adalah cinematography-nya sendiri. 

#1 Before Midnight (USA)


What a very nice surprise, sukses dengan film keduanya, Before Sunset 9 tahun yang lalu, kita akhirnya dipertemukan lagi dengan pasangan paling membumi ini, Celine dan Jesse. Siapa sangka, kisah yang kita pikir sudah selesai bertahun-tahun lalu ini ternyata masih berlanjut ke tingkat hubungan yang lebih sakral, pernikahan. Jika di film sebelumnya Celine dan Jesse membawa kita berjalan-jalan di France sembari menelusuri ketidakpuasan kehidupan cinta Celine dan Jesse pasca ketidakbersamaan mereka, maka di film ketiganya ini, Celine dan Jesse akhirnya menikah dan bahagia. Namun suatu peristiwa yang terlihat sepele memicu ketegangan di antara mereka. Membuat kita larut dalam percakapan tentang pasang surut kehidupan perkawinan yang mereka bangun selama ini, yang berujung pada rencana perpisahan mereka, dan itu terjadi di Greece.

We love Celine and Jesse. Asmara yang mereka bangun dengan begitu natural di Before Sunset dan Before Sunrise begitu membuai kita, sehingga kita percaya bahwa merekalah the best down-to-earth couple we've ever met on screen. Kita bersenang-senang dengan mereka di dua film sebelumnya. Namun perselisihan yang mereka picu di Before Midnight menjadikan cerita ketiga ini begitu/paling intense dan emosional, hingga memicu emosi yang sama pada kita. Kondisi ini --kita mencintai mereka berdua sejak film pertama-- membuat kita bingung untuk memutuskan harus membela siapa, Celine? atau Jesse? Karena yang kita inginkan adalah mereka tidak boleh berpisah, selain itu, argumen yang mereka lemparkan satu sama lain memperlihatkan mereka sama benar dan salahnya.

9 tahun, namun Ethan Hawke dan Julie Delphy belum kehilangan chemistry --even getting stronger--, membawakan dialog-dialog seputar kehidupan perkawinan mereka yang tak se-long shot di dua film sebelumnya, namun masih tajam, masih cerdas dan masih natural. Ketika banyak sineas Amerika sibuk membuat trilogy atau saga yang menawarkan aksi dan fantasy, creates a new fancy world, Richard Linklater tetap tinggal bersama kita. Trilogy-nya tidak menciptakan dunia baru, karakter "baru", dia justru memperbarui, mengejutkan perasaan penonton terhadap his ordinary couple. Linklater berhasil memperlihatkan kita bahwa our world, our life is dramatic as it is, yet, charming. Kita tidak butuh dunia baru, cuma butuh sudut pandang baru. Pasangan setipikal Celine dan Jesse, mungkin kita pernah berpapasan dengan mereka di jalan, but did we care?  I mean setiap pasangan bisa menjadi Celine dan Jesse tanpa mereka sadari. Dan pasangan yang seperti ini, kita tidak pernah tahu seberapa kuat dan dekatnya perasaan yang mampu mereka timbulkan terhadap kita, hingga akhirnya Linklater membawanya ke screen. And then, do we care? Aren't they charming?

Share this post
  • Share to Facebook
  • Share to Twitter
  • Share to Google+
  • Share to Stumble Upon
  • Share to Evernote
  • Share to Blogger
  • Share to Email
  • Share to Yahoo Messenger
  • More...

0 komentar

:) :-) :)) =)) :( :-( :(( :d :-d @-) :p :o :>) (o) [-( :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ :-$ (b) (f) x-) (k) (h) (c) cheer

 
© Kelam Mencerahkan
Designed by restuwashere

Back to top