Rabu, 18 Desember 2013

A Story that Ignites Strong Emotion in Us.

Judul : Tyrannosaur
Sutradara : Paddy Considine
Pemain : Peter Mullan, Olivia Colman, Eddie Marsan
Genre : Drama
Negara : Irlandia
Tahun Rilis : 2011

Sebuah debut penyutradaraan yang mengagumkan yang mampu dihasilkan seorang aktor kelas medium, Paddy Considine, yang melibatkan emosi yang intense dari awal hingga akhir cerita melalui kekuatan pengkarakterannya. Dari awal, karakter utama dalam film ini sudah membuat saya ngeri dengan cara dia mengekspresikan kemarahannya. A big credit for Peter Mullan yang memerankan Joseph, a grumpy old man, yang sedikit mengingatkan kita dengan karakter Walt Kowalski dalam film Gran Torino, yang hidup seorang diri dan sedang berusaha menyembuhkan dirinya sendiri dari sifat over-explosive. Dalam usahanya tersebut, ia bertemu dengan seorang wanita, Hannah, yang dalam kehidupan pernikahannya ia menjadi korban pelecehan dan kekerasan suaminya. Pertemuan mereka, dua karakter yang begitu bertolak belakang, menjadikan kisah yang getir ini tidak hanya ironis tapi juga unik.

Pertemuan Joseph dan Hannah tak lantas menjadikan mereka berdua berteman. Dikarenakan Peter, yang tak hanya sulit membuka diri, ia juga berwatak keras, getir, pesimis dan terlalu realistis, walau pun Hannah senantiasa berusaha membuka diri, bersikap bersahabat dan lembut. Hannah juga merupakan wanita yang beriman, kepercayaannya terhadap Tuhan membuat Joseph sulit menyukainya begitu saja. Namun kebetulan-kebetulan yang terjadi setelah pertemuan pertama mereka memaksa mereka selalu berada dalam ruang yang sama. Satu-satunya kesamaan di antara Hannah dan Joseph adalah mereka sama-sama kesepian. Ada kehampaan yang terisi di antara mereka ketika mereka bersama. Keyakinan Hannah yang dibenci Peter justru menenangkannya, sedang kebrutalan Peter justru membuat Hannah aman dari rasa ke-insecure-an yang ia bawa dari rumah.

Keindahan hubungan yang Joseph dan Hannah jalin dalam kepahitan bukan satu-satunya faktor yang membuat kisah ini engaging. Film ini juga memiliki kemampuan mengikat penonton melalui keterus-terangan dan kebrutalan dialog serta tindakan yang dilakukan dan dialami oleh tokoh-tokoh dalam cerita ini. Tidak hanya mengikat, film ini juga menyalakan emosi dalam diri penonton. Cara Joseph mengekspresikan amarahnya terhadap orang-orang di sekitarnya berhasil menciptakan rasa ngeri, begitu pun dialog-dialognya yang getir serta caranya bersikap terhadap Hannah kerap mengundang rasa marah dan muak kita. Sedang Hannah, penonton tentu saja berharap ia melakukan sesuatu terhadap penyiksaan yang kerap ia terima dari suami bejatnya. Hannah terlalu gugup, terlalu memaafkan, ia memiliki keberanian yang tak termanifestasikan. Kita, penonton yang terprovokasi berharap, sungguh-sungguh berharap, agar Joseph dan Hannah berubah. Kedua karakter dalam cerita ini me-refresh pemahaman kita how powerful a human can be, bahkan jika kekuatan itu begitu terpendam. Bahwa manusia memiliki kemampuan menghancurkan, kemampuan menahan, kemampuan membebaskan diri, tak peduli seberapa kuat dan peliknya masalah yang mereka hadapi. Pada akhirnya, film ini tidak memberikan kita konklusi yang mudah, ada kepahitan yang tetap tertahan di dalamnya. Penonton dibuat luruh dan mengiba oleh kondisi mereka berdua yang begitu manusiawi dan jujur, namun di saat yang sama karakter-karakter ini telah bertransformasi dalam cara yang sangat bijaksana, dan juga, bertanggung jawab.




Share this post
  • Share to Facebook
  • Share to Twitter
  • Share to Google+
  • Share to Stumble Upon
  • Share to Evernote
  • Share to Blogger
  • Share to Email
  • Share to Yahoo Messenger
  • More...

0 komentar

:) :-) :)) =)) :( :-( :(( :d :-d @-) :p :o :>) (o) [-( :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ :-$ (b) (f) x-) (k) (h) (c) cheer

 
© Kelam Mencerahkan
Designed by restuwashere

Back to top